SEPERTI kita ketahui bersama, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PAN-RB) akhir pekan lalu (Jumat, 24/7/2015) telah mengeluarkan surat edaran terkait netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam proses pilkada serentak pada 9 Desember 2015.

Surat edaran Menpan RB nomor B/2355/M.PANRB/07/2015 tersebut merupakan penegasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah, serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Isi dari surat edaran tersebut adalah melarang seluruh pegawai negeri sipil terlibat dalam kegiatan kampanye, baik menjadi anggota atau pun terlibat di dalamnya. Para ASN tidak diperkenankan menggunakan fasilitas negara untuk berkampanye. Selain itu juga tidak diperbolehkan mengganggu jalannya kampanye calon pimpinan daerah.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PAN-RB) Yuddy Chrisnandi, seperti dirilis dari tribunpekanbaru.com, mengimbau warga agar tidak mengajak aparatur sipil negara untuk terlibat dalam proses pilkada. Jika ada indikasi keterlibatan, oknum itu akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

"Tentu kami akan memberikan hukuman yang proporsional," katanya.

Ada pun sanksi yang diberikan sesuai dengan UU No. 5 tahun 2014 tentang ASN yaitu PNS yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik akan dijatuhi hukuman berupa diberhentikan dengan tidak hormat.

Menurut informasi dari Kemenpan-RB, surat edaran Menpan_RB nomor B/2355/M.PANRB/07/2015 tentang Netralitas ASN dan Larangan Penggunaan Aset Pemerintah dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak tersebut ditujukan kepada para Menteri Kabinet Kerja, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, para Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), para Sekjen Lembaga Negara, para Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Non Struktural, para Gubernur, Bupati dan Walikota.

Menarik memang. Dari penelurusan penulis, hal ini bukan barang baru tentang larangan pegawai negeri untuk ikut berpolitik praktis dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Bahkan setiap kali pelaksanaan Pilkada, pernyataan ini sering dikemukan baik dari anggota DPRD ataupun pejabat di pemerintahan dalam hal ini Sekretaris Daerah (Sekda) dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD).

Sekedar untuk diketahui, PNS memiliki tiga fungsi yang melekat padanya. Fungsi tersebut adalah sebagai Abdi Negara, Aparatur pemerintah serta pelayan masyarakat.

Dalam kedudukan sebagai Abdi Negara, evaluasi awal mengharuskan status WNI sebagai syarat mutlak. Selanjutnya, evaluasi tahunan yang tampak di DP3 adalah kesetiaan PNS tersebut sebagai WNI. Kedudukan sebagai abdi negara tak terputus saat pensiun.

Meski telah purna tugas, seorang mantan PNS adalah warga negara yang harus tetap menunjukkan pengabdiannya. Misalnya saat ada perbedaan di masyarakat, ia harus berusaha untuk bisa mensinergikan perbedaan tersebut. Selanjutnya sebagai aparatur pemerintah, PNS merupakan alat untuk mencapai tujuan negara. Untuk itu saat terjadi perbedaan, jangan hanya berbangga dengan perbedaan yang ada, karena masih ada misi yang lebih penting, yaitu mensinergikan perbedaan menjadi satu kesatuan. Terakhir adalah sebagai pelayan masyarakat. PNS harus bisa mengoptimalkan pengabdian, karena posisi PNS sangat strategis untuk mencapai kesejahteraan baik kesejahteraan untuk pribadi maupun negara.

Penulis meyakini, tiga fungsi tersebut pastilah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh pegawai negeri dimanapun berada di Tanah Air ini. Hanya saja satu hal yang perlu digarisbawahi adalah terkait dengan loyalitas kepada pimpinan.

Tak jarang pengertian loyalitas terhadap pimpinan inilah yang sering disalahartikan oleh pegawai negeri dimanapun berada. Umumnya (mungkin) kita lihat sendiri, loyalitas tersebut kadang mengalahkan profesional dalam menjalankan tugas-tugas yang diemban sehingga larut dalam menjalankan perintah pimpinan. Sampai-sampai dikarenakan loyalitas berujung masuk penjara dan lain sebagainya.

Ini tentunya tidak terlepas dari jabatan yang diemban, dan rasa ingin terus menerus (haus, red) menempati jabatan di lingkungan pemerintah. Bagaimanapun juga penyusunan pejabat di lingkungan pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten, dan kota, andil kepala daerah sangatlah mutlak, meski saat ini ada namanya assesment.

Jika melihat fakta yang ada, baik langsung ataupun di belakang layar. Tak jarang dari mereka (aparatur sipil negara/ASN) turut serta ketika pilkada digelar. Keikutsertaan mereka tidak bisa dipungkiri karena loyalitas terhadap pimpinan yang kembali ikut mencalonkan diri dalam pilkada.

Meskipun dalam pilkada ada pengawas pemilihan kepala daerah (Bawaslu, red), namun belum cukup untuk memberikan sanksi kepada ASN yang diketahui mendukung pasangan calon kepala daerah.

Hukuman bagi ASN tersebut akan terlihat setelah pilkada usai, dan pemenangnya sudah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dan jika ASN tidak menduduki jabatannya (eselon II, III, dan IV), berarti ASN tersebut tidak mendukung pasangan yang menang dalam pilkada itu.

Untuk itu, harapan ke depan, penulis berharap surat edaran terkait netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam proses pilkada serentak pada 9 Desember 2015 betul berjalan sesuai yang diinginkan, yakni PNS lebih mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan golongan atau diri sendiri serta menghindarkan segala sesuatu yang dapat mendesak kepentingan Negara oleh kepentingan golongan, diri sendiri, atau pihak lain, menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah dan Pegawai Negeri Sipil, memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan Pemerintah baik langsung menyangkut tugas kedinasannya maupun yang berlaku secara umum, dan melaksanakan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab, bukan karena ada embel-embel jabatan.

Pastinya kita sebagai masyarakat menunggu dan menguji netralitas ASN di pilkada melalui Surat edaran Menpan RB nomor B/2355/M.PANRB/07/2015 tersebut merupakan penegasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah, serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. ***

*) Amril Jambak, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan.