JAKARTA, GORIAU.COM - Tim dari Pusat Penelitian dan PengembanganBadan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (Puslitbang BMKG) merilis hasil riset mengenai musibah jatuhnya pesawat Indonesia AirAsia QZ8501. Dalam penelitian berjudul "Kecelakaan AirAsia QZ8501, Analisis Meteorologis" ini BMKG menyatakan pesawat AirAsia jatuh karena faktor cuaca.

Menurut tim yang beranggotakan Profesor Edvin Aldrian, Ferdika Amsal, Jose Rizal, dan Kadarsah ini, analisis awal menunjukkan bahwa pesawat AirAsia kemungkinan telah terbang masuk kedalam awan badai. Kejadian serupa telah terjadi sebelumnya di kawasan Asia Tenggara.

Contoh kejadian kecelakaan pesawat akibat faktor cuaca terjadi pada 16 Januari 2002. Saat itu pesawat Boeing 737-300 milik Garuda Indonesia bernomor penerbangan 421 mengalami dual-engine flameout (kehilangan tenaga) akibat mencoba menghindari awan badai. Contoh lain yakni Adam Air penerbangan 574 jurusan Jakarta-Surabaya-Manado. Pada 1 Januari 2007, pesawat ini mengalami kerusakan pada alat bantu navigasi Inertial Reference System (IRS) akibat cuaca buruk.

Tepat beberapa hari sebelum kecelakaan Air Asia QZ 8501, pesawat Singapore Airlines jenis Airbus A330-300 bernomor penerbangan SQ-615 yang mengangkut 268 penumpang dan 13 awak mengalami turbulensi (goncangan). Goncangan ini terjadi saat pesawat itu terbang dari Osaka ke Singapura pada 22 Desember 2014, tepatnya di ketinggian 39 ribu kaki di atas Laut Tiongkok Selatan, sebelah utara-barat kota Bandar Seri Begawan (Brunei).

Terkait kecelakaan AirAsia QZ8501, tim BMKG menyatakan fenomena cuaca yang paling memungkinkan adalah terjadinya icing atau pembekuan yang dapat menyebabkan mesin pesawat rusak. Pada saat kejadian, kata tim BMKG, citra satelit IR mengungkapkan suhu puncak awan yang dilalui pesawat AirAsia mencapai -80 hingga -85 derajat celcius. Di dalam awan itu ada butiran es.

Melalui citra satelit Vis, tim BMKG menyimpulkan adanya awan konvektif di jalur penerbangan AirAsia QZ 8501. "Hal tersebut juga menunjukkan bukti bahwa ada beberapa puncak awan yang menjulang tinggi pada jalur penerbangan yang dilewati," demikian kutipan riset tersebut. ***