JAKARTA, GORIAU.COM - Bencana kabut asap yang terus berlangsung akibat kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan, meningkatkan risiko bahaya kesehatan. Mulai dari efek jangka pendek hingga panjang.

Dalam sebuah seminar kesehatan yang digelar di RS Persahabatan, Jakarta, dokter Feni Fitriani, SpP menjelaskan, efek jangka pendek yang bisa dirasakan akan langsung terasa di hidung dan tenggorokan yang mulai gatal. Hal ini terjadi karena teriritasinya selaput lendir oleh asap kebakaran hutan.

"Akibatnya, timbul keluhan mata perih, hidung berair, mata berair, rasa tidak nyaman di tenggorakan dan bau tidak nyaman yang bisa menimbulkan rasa mual dan muntah," ujar Feni dalam seminar bertajuk Pencegahan dan Penanganan Dampak Kesehatan Asap Kebakaran Hutan, pada Senin, 12 Oktober 2015.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan, karena asap mengiritasi saluran selaput lendir, maka ketahanan tubuh terganggu dan hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran napas.

"Sedangkan risiko jangka panjang yang terkena paparan asap terus menerus akan terjadi gangguan pernapasan kronik, fungsi paru yang berubah (daya tampung oksigen berkurang), dan meningkatnya risiko gangguan kardiovaskular," ungkap dokter yang juga pengurus Perhimpunan Dokter Paru Indonesia itu.

Kelompok Paling Rentan

Bahaya kabut asap akan semakin berlipat, saat korban yang hidup dalam kepungan asap ini sebelumnya ternyata sudah menderita penyakit kronis. Feni Fitriani menjelaskan, mereka yang disebut kelompok rentan terkena bahaya asap, adalah orang yang memiliki penyakit paru kronik, misalnya penyakit jantung. Lalu manula, ibu hamil, dan balita.

"Kelompok rentan biasanya lebih dahulu mengalami gejala gangguan pernapasan dibanding kelompok sehat," ungkap Feni. Bagi penderita asma, karena asap kian memburuk, asmanya akan kambuh atau menjadi lebih berat. "Hal ini bisa menyebabkan napas berbunyi, karena saluran napas mengecil," tambah sang dokter.

Karbon monoksida sebagai gas yang paling berpengaruh dalam saluran napas, dalam konsentrasi tinggi bisa mengakibatkan ikatan dengan hemoglobin menjadi lebih kuat, dibanding bersama oksigen. Sehingga jika karbon monoksida lebih berikat dengan hemoglobin, oksigen tidak bisa dibawa tubuh, sehingga muncul keluhan kekurangan oksigen.

Keluhan yang akan muncul, misalnya sakit kepala, kesadaran yang menurun, dan pada pasien yang telah mengalami penyakit jantung, seperti gagal jantung kronik, atau pada pasien yang memiliki kelainan paru, akan membuat penyakitnya bertambah parah. "Pasien yang sudah mempunyai penyakit paru kronik atau PPOK, fungsi untuk oksigennya juga akan terganggu," jelas Feni.***