DEMOKRASI yang mulai merangkak sejak Orde Reformasi di negeri ini, tidak dibarengi dengan pemikiran yang realistis rasional dan cenderung membabi buta. Ironisnya lagi, para tokoh masyarakat serta sebagian dari golongan cerdik pandai dan golongan menengah keatas yang seharusnya turut menopang terlaksananya tatanan politik pemerintahan seperti itu, ternyata sangat sedikit sekali yang memberikan aspirasi yang positif, kalau tidak mau dikatakan tidak aspriratif yang signifikan dalam perjalanan demokrasi negeri ini. Malah sangat kontroversial, komunitas elit ini terbawa arus kekosongan pemahaman/pemikiran dari orang-orang yang belum begitu paham dengan arti demokrasi yang substansial.

Kita tidak usah menutup mata, betapa banyak realita kehidupan demokrasi negeri ini manifistasinya dalam kehidupan masyarakat sangat amburadul. Kebebasan berbicara dan berbuat tidak lagi terkontrol dengan baik cenderung memaksa kehendak, seolah-olah sesuatu yang dilakukan itu merupakan haknya sebagai manusia yang dilindungi oleh suatu asas yang disebut dengan hak asasi, nature right. Undang-undang hanya sebagai pelengkap semata, tidak lebihdari itu. Undang-undang/peraturan yang merupakan pedoman kehidupan bernegara, hanya kuat diatas kertas.

Sudah terlalu banyak contoh yang terjadi. Hampir setiap hari dapat kita lihat. Eksekusi putusan Mahkamah Agung sebagai Institusi Justisial Badan Peradilan tertinggi di negeri ini, demi memperoleh kepastian hukum selalu dihambat dengan berbagai demonstrasi. Protes yang tidak beralasan itu, lazimnya diikuti dengan kekerasan fisik yang dilakukan oleh masyarakat terhadap aparatur pemerintah. Anehnya, para pemrotes itu kebanyakan sama sekali tidak mempunyai kepentingan hukum dalam kasus itu. Pembongkaran-pembongkaran rumah/gedung yang dibangun secara illegal, demi tegaknya hukum dan ketertiban, keindahan kota, dihadang sekelompok orang yang dikoodinir oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mahasiswa yang berdemontarasi terhadap almamaternya atas kebijaksanaan Rektor. Sudah terlalu banyak contoh-contoh yang dapat kita simak dan invertariser dalam konteks sebagai akibat penyaluran paham ajaran demokrasi yang amburadul.

Fenomena demokrasi yang tidak terkendali ini, telah jauh melangkah masuk kedalam diri pemimpin-pemimpin negeri ini, baik pusat maupun di daerah. Bukan itu saja, ternyata juga telah menyelusupi pada tokoh-tokoh partai politik. Calon-calon legeslatif muda yang bakal menjadi pemimpin masa depan pun juga terimbas kedalam pengertian yang keliru tentang eksistensi demokrasi.

Pemahaman sistem Negara Demokrasi yang sudah tidak ''bernilai'' demokrasi itu, telah melahirkan suatu konsekuensi yang fenomenal yaitu sirnanya nilai-nilai sportifitas. Sehingga tidak dapat lagi membeda-bedakan antara mana yang sebenarnya dan mana yang salah. Tidak dapat lagi membedakan suatu kejujuran dengan penipuan. Mereka hanya menilai kepentingan diri sendiri bahwa mereka lah yang benar, mereka lah yang jujur, mereka lah yang qualified sehingga sifat egoismenya semakin menonjol.

Trend yang jenuh dilihat oleh masyarakat sekarang ini adalah bahwa setiap akhir dari suatu pemilihan kepala daerah (Pilkada) baik dalam tingkat satu/provinsi maupun dalam daerah tingkat dua/kabupaten-kota, bahkan mungkin nasional, sudah melahirkan ''tradisi buruk'', dan tidak asing lagi, bahwa yang kalah pemilihan selalu meluncur ke ranah hukum Mahkamah Konstitisi (MK). Berbagai argumentasi pun bermunculan. Terkadang orang awam pun dapat memprediksi alasan-alasan yang diajukan tidak lebih dari menunda-nunda permasalahan, tidak mau mengaku kekalahan diri dalam suatu kompetisi. Mereka lalu menarik-narik dan menuduh pihak-pihak menyatakan tidak jujur dalam pelaksaan pemilihan. Sadar atau tidak mereka kurang menyadari mereka sendiri juga bukan orang-orang yang jujur.

Sportifitas seharusnya ada pada setiap kontestan bila ingin turut didalam suatu kompetisi. Apapun yang terjadi, seharusnya setiap kontestan berani merangkul kemenangan tapi juga menerima kekalahahan. Kecuali memang benar-benar terjadi sesuatu kesalahan/kekeliruan yang foundamental, suatu kekeliruan yang nyata, bukan dicari-cari dengan menciptakan suatu kesalahan. Menciptakan kesalahan sangat mudah, mencari kebenarankan itu sangat sulit. Mental sportifitas menerima kekalahan inilah yang belum dipunyai oleh calon-calon pemimpin anak negeri ini.

Konsekuensi dari ketidak sportifitasnya mereka yang tidak akan pernah mengakui kesalahannya berpotensi timbulnya kondisi yang lebih parah lagi, antara lain munculnya gerilya-gerilya politik, timbulnya intimidasi dan manipulasi perkara di Badan Peradilan. Masih nyaring terdengar dikuping kita kasus penyogokan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak sportif mau mengakui kekalahan dirinya terhadap seorang dengan mengirim utusan ke Ketua Lembaga Terhormat MK. Mereka mencari jalan pintas, menerobos masuk ke lembaga tinggi Peradilan yang bernama Mahkamah Konstitisui itu, agar pemilihan yang telah menggagalkan dirinya dapat duduk dikursi empuk yang bernama Gubernur ataupun Bupati/ Walikota agar dianulir.

Irrasional sekali bila setiap pilkada, para kontestan yang tidak ingin kalah selalu saja menuduh Penyelenggara Pemilihan (KPU) adalah curang. Mereka menuntut Pilkada ulang atau membatalannya. Sehingga setiap aparatur negara yang menyelenggarakan dan menjalankan tugas negara selalu dianggap ''capable''. Suatu kualitas pemikiran yang sangat tidak konsepsional dari seorang calon pemimpin.

Kelatahan tradisi mengajukan gugatan ke Mahkamah Konsitusi, rupanya telah ''terinfeksi'' ke Bumi Lancang Kuning. Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Riau baru-baru ini telah melahirkan ketidakpuasan, sehingga yang tidak terpilih ingin ''minta restu'' ke Mahkamah Konstitusi. Sehingga terpaksa kekosongan Pimpinan Daerah yang notabena telah terlibat kasus, terpaksa mengalami permasalahan yang berlarut-larut.

Saya tidak berkopeten membicarakan tentang materi kasusnya. Tulisan ini juga tidak mengorek dan mengkalkulasi tentang berapa besar kerugian meteriel yang meranggah kantong rakyatdaerah ini sebagai akibat berlarut-larutnya proses penundaan itu. Tapi apakah kita tidak berpikir betapa rakyat daerah ini sudah terlalu muak dengan kondisi daerahnya. Kapan lagi daerah yang rakyatnya terkenal dengan sopan santun, tapi para pemimpinnya saling bercakar-cakaran sekadar kerangkul dan mempertahan prestise. Belum lepas dari musibah seorang pemimpin Melayu yang sedang diproses kasus hukum yang memalukan. Perahu Lancang Kuning negeri Melayu kini diterjang oleh badai bentrokan pemilihan kepemimpinan daerah, hanya sekadar mempertahankan pristise belaka.

Sudah sejak semua rakyat telah mencium aroma yang ''mambu'' itu. Pertanyaannya masih banggakah kita dengan negeri Melayu? Untuk memilih pemimpin saja kita telah menghilangan jati diri Negeri Melayu yang selalu mengemukakan kata mufakat dalam semua persoalan. Pertentangan, kesalahpahaman dapat diselesaikan bila dilakukan dengan berembuk, musyawarah mufakat yang santun. Bukan dengan mempertentangkan sesuatu yang bertentangan. Jika ini terjadi maka pasti berujung pada perbedaan. Jangan sampai arang habis besi pun binasa. Konsekuensi logisnya adalah Rakyat semakin apatisme pada siapa pun yang kelak akan menjadi pemimpinnya, jika para pemimpinnya, para cerdikiawanya dan pemangku adat Melayu sendiri tidak dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri.

Tidak perlu minta pengampuan, restu lewat lembaga Instisusi yang ada, bila para pemimpin-pemimpin negeri itu menyadari dan mengutamakan kerukunan. Kedamaian hidup bermasyarakat lebih bermakna daripada mempertentang kenapa yang sudah terjadi. Kemenangan dan kekalahan dalam kontes demokrasi tidak perlu berujung pada proses hukum. Karena itu adalah hasil dari kehendak rakyat melalui proses pemilihan. Menentang kebenaran proses demokkrasi dapat berindikasi pada pengkhianatan pendapat rakyat.

Sportifitas dalam kontes penyelenggaraan Pemerintahan Demokrasi dengan mengakui keunggulan lawan dan menyadari kekalahan, merupakan salah suatu kreteria dalam sistem Pemerintahan Demokrasi itu sendiri. ***

Penulis adalah warga Riau yang bermastautin di Jakarta.