SEKITAR sebulan lalu aku pulang ke kampung halamanku di Bengkalis. Jujur aku akui, aku bangga begitu pesatnya pembangunan fisik yang terjadi di negeriku itu dibandingkan puluhan tahun lalu ketika aku datang berziarah ke makam ayahandaku (aku belum akan menyinggung pembangunan mental anak negeri).

Aku dibawa berjalan-jalan keliling kota bersama keponakanku sampai di ujung pulau di sebelah barat pantai Selat Malaka. Jalan beraspal yang mulus mengembalikan ingatanku semasa bersekolah di SR. Aku bersepeda menyelusuri jalan setapak berkelok-kelok melintasi kebun nenas sepanjang jalan menuju pantai. Kini sebuah pelabuhan sudah berdiri di tepi pantai itu, konon katanya pelabuhan penyeberangan ketanah Malaka.

Namun, hatiku tergugah juga, disepanjang jalan yang mulus itu sedikit pun tidak terlihat olehku arus kesibukan lalu lintas datang dan pergi. Sepi layak tanah tidak bertuan. Demikian juga sesampainya aku di pantai yang indah itu aku hanya melihat beberapa orang muda-mudi yang sedang membelai kasih duduk di ponndok terbuat dari bambu. Sama sekali tidak terkesan adanya objek wisata yang dapat diandalkan.

Di pelabuhan penyeberangan, aku tidak melihat seorang pun yang penjaga, apalagi para turis/pendatang akan mempergunakan fasilitas sarana yang sangat indah itu. Lalu aku bertanya dalam hatiku, apa sebenarnya tujuan pemerintah negriku itu membangun fasilitas sarana yang begitu indahnya, yang notabena pasti telah menyedot uang rakyat miliaran rupiah.

Dari segi ekonomi dan pariwisata aku belum dapat mencerna orgensinya pembangunan itu. Terlalu terburu nafsu. Aku memprediksi apakah sekadar pristise pribadi, akan membangun monumen bahwa aku ''pernah berkuasa di negeriku''.

Kalau ini yang menjadi tujuan para Pemimpin Negeri Terubuk itu, maka biarlah rakyat Bengkalis kembali seperti zamanku dulu, berjalan kaki/sepeda menuju pantai. Uang miliaran rupiah untuk suatu pristise seorang pemimpin negeri berujung pada kemiskinan dan kebodohan rakyat. Sebab uang sebanyak itu lebih bermanfaat untuk memajukan pendidikan, kesejahteraan, kesehatan dan mentalitas rakyat.

Para pemimpin rakyat Bengkalis mendatang tentunya tidak akan meniru cara berpikir fenomenal seperti itu. Para pemimpin negeri ini telah didominasi oleh orang-orang yang menyandang sederet titel diawal dan dibelakang namanya, maka sudah selayaknya para pemimpin negeri ini untuk berbuat sesuatu dilandaskan dan mempergunakan pemikiran yang rasional dari pada emosional. ***Catatan perjalanan ditulis oleh Iman Parwis Syafiie. Penulis adalah warga Bengkalis, Riau yang bermukim di Jakarta.