SUDAH Sudah menjadi komitmen anak bangsa negeri ini, bahwa perbuatan korupsi adalah merupakan musuh bersama, karena itu apapun bentuk dan manifistasinya haruslah dicegah dan dimusnahkan. Kita telah bertekat melakukan terapi dengan menjatuhkan hukum mati atau hukuman seumur hidup pada pelaku korupsi, untuk dapat menimbulkan efek jera bagi mereka yang sadar atau tidak berbuat kejahatan itu.

Pemikiran yang sangat idealisme itu, tidak akan pernah berhasil jika kita masih saja terikat pada tradisi adat istiadat sopan santun yang kaku, khususnya bilamana menyangkut seseorang sesepuh atau pemimpin yang terlibat kasus yang sangat mengusik hati dan perasaan masyarakat. Apalagi dianggap pernah dianggap berjasa dinegerinya. Mereka yang berpikiran skiptisme demikian itu tidak peduli dengan kesalahan perbuatan pemimpin yang telah merusak tatanan kehidupan negerinya. Pemimpin yang tidak lagi memegang amanah yang diberikan rakyatnya.

Sangat ironis sekali, konon ketika rakyat Negeri ini, sedang gencar-gencarnya ingin menegakkan hukum terutama memberantas ''virus'' korupsi, terpetiklah berita seorang pemimpin ketika dipulangkan kenegerinya disambut dengan meriah oleh sebagian besar rakyatnya dan pemuka masyarkat serta para pejabat daerah dalam jajaran pemerintah. Tidak kepalang tanggung Ketua Lembaga Adat Negeri pun turut menyambut kedatangannya dan turut berdoa kembalinya sang pemimpin, yang notabena masih dalam status tahanan.

Kejadian itu mengingatkan saya pada sebuah hikayat yang pernah saya baca ketika di bangku Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) dahulu ketika Laksamana Hang Tuah kembali ke negerinya di tanah Melaka, setelah memenangkan pertarungan hidup mati melawan Tamang Sari, Batara Majapahid yang gagah perkasa. Ketika sang Laksamana pulang, disambut meriah oleh rakyatnya di Negeri Melaka. Hikayat lama penuh heroit itu, kini terulang dan terjadi di negeriku sendiri tanah Melayu Riau. Namun sangat disayangkan, ketika Laksamana Hang Tuah kembali ke negerinya tanah Melaka dengan membawa kemenangan dan mengangkat marwah anak negeri, telah menundukkan Batara Majapahid. Ironisnya kembali pemimpin negeriku dalam kondisi tersandung perbuatan tercela yang sangat menyakitkan hati rakyatnya.

Apa yang dapat kita tarik dari ''skenario'' ini?. Tampaknya Negeri Melayu yang senantiasa mengagungkan kultur adat istiadat, sopan santun, acara istiadat persembahkan ''sekapur sirih'' bila menyambut kehadiran seorang Pemimpin tercedera. Warisan nenek moyang masih amat sulit untuk dilepaskan dan dihapuskan dari tatanan kehidupan masyarakat adat. Bahkan asumsi mereka haruslah dilestarikan, tanpa melihat kondisi realita kehidupan anak bangsa yang telah muak melihat tingkah polah dan kepalsuan Pemimpinnya. Ternyata negeriku masih terpuruk kedalam tradisi yang belum dapat membedakan antara pemimpin yang amanah dengan pemimpin yang serakah. Dengan ''emosional'' tersungging senyuman dibibirnya seraya mengucapkan ''terima kasih'', pada rakyat dan pembesar negeri yang datang menjemputnya, tanpa sepatahpun terlontar ''kata maaf'' pada rakyatnya. Apa arti dari semuanya itu, tidak lain kepercayaan diri yang berkelebihan, merasa dirinya tidak penah berbuat salah pada rakyat.

Pertanyaan berikutnya yang menyelusuri benak sebagian besar rakyat adalah masih wajar dan patutkah tradisi itu dilestarikan dan diperlakukan lagi pada seseorang pemimpin yang ''dianggap sudah tercela''. Masih ''sopankah'' negeri ini memperlakukan tradisi santun pada seseorang tokoh Pemimpin demikian itu. Negeri ini tidak akan mampu untuk benar-benar dapat mengikis habis virus perbuatan korupsi yang sudah mengembang dalam tubuh penyelenggara negara, bila kita masih saja memelihara sopan santun yang irrasional.

Komitmen anak bangsa telah jelas bertekat akan memiskinkan para koruptor, memberikan sifat jera pada mereka yang terlibat melakukan perbuatan korupsi menyakitkan hati rakyat. Apakah masih pantas disanjung dan diidolakan. Memperlakukan sifat jera pada seorang koruptor tidak cukup dengan menjatukah hukuman tinggi padanya. Tapi haruslah memberikan hukuman yang bersifat penyenderaan dengan mengisolirkan dirinya dan seluruh keluarganya dari kehiduapan sosial masyarkat. Jangan kita berpikir terlalu ''humanisme'' berdalihkan hak azazi manusia. Kalau itu yang dijadikan dasar kemudian menimbulkan “sifat hiba” yang berkelebihan, maka kita seharusnya bertanya apakah mereka sadar bahwa mereka yang telah melakukan perbuatan korupsi itu pernah merasa “hiba” dengan nasib rakyat ketika mengorek harta rakyatnya demi kemuliaan pribadinya dan keturunannya.

Jika kita masih saja dibayangi oleh sifat-sifat santun dan perasaan hiba, kultur masyarakat demikian, maka dapat diprediksi apa yang kita harapkan untuk berusaha memberikan sifat jera dengan hukuman gantung sekalipun atau mengisolir mereka dari kehidupan sosial masyarakat, akan terbentur pada suatu kegagalan total. Pada gilirannya saya yakin jika “tradisi” ini tetap saja kita pelihara dan pertahankan, dan tidak dapat mendisplit antara dua kutup yang berbeda antara ''kejahatan'' dengan ''sifat sopan'' maka tunggu waktunya virus korupsi yang ditakuti itu akan hidup subur menyelinap masuk kedalam diri setiap pemegang kekuasaan. Karena apa?, karena anak negeri kita ini masih amat santun menerima orang-orang/pemimpinnya sekalipun telah melakukan berbuatan tercela. Karena tatakerama sopan santun masyarakat telah melupakan segala kejahatan yang dilakukannya. Akhirnya dengan pengaruh materialistis mereka akan membangun kembali simpati masyarakat. Dan sifat jera yang sudah menjadi komitmen kita akan semakin jauh dari tujuan yang diharapkan. ***

Jakartta, 2013

Penulis adalah orang Riau bermastautin di Jakarta.