SATU ketika, salah seorang staf di kantorku memberiku kartu namanya yang baru. Semula hanya ada satu titel saja dibelakang namanya “SH” (Sarjana Hukum) kini bertambah lagi satu titel MM (jujur, aku sendiri belum mengenal panjangannya).

Ia berikan kartu itu dengan sangat bangganya. Tanpa bermaksud mengurangi ueforianya, dengan titelnya yang baru itu, aku berkata ''wah rupa-rupanya kamu diam-diam kuliah lagi ya?, dimana'' (terus terang aku tahu persis ia tidak pernah keluar dari kantor sampai sore karena selalu diberi tugas, jadi kapan ia kuliah).

Dengan tersipu, sedikit kecut, jujur ia mengakui ''ada satu Lembaga Pendidikan yang dapat memberi gelar itu hanya dengan dua atau tiga kali datang (tentu saja dengan dana yang relatif besar, harus disiapkan), dalam waktu sekitar 5-6 bulan sudah dapat menyandang titel itu, pak,'' ujarnya tanpa ekspresi. Kemudian dengan bangganya pula ia menawarkan padaku ''jika bapak mau saya akan antarkan bapak kesana''.

Aku terkesima mendengar tawaran itu dan dengan tidak mengurangi kebanggaannya dan sedikit memberi kesan bahwa aku sama sekali tidak perkenan dengan perbuatan demikian itu, lalu aku berkata ''biarlah titel sarjana yang aku sandang sekarang ini tidak usah ditambah lagi. Aku sudah lelah belajar selama lebih kurang 4-5 tahun untuk memperoleh titel sarjanaku dan otakku tidak mampu lagi belajar, jangan menambah bebanku, untuk membuka buku-buku lagi''. Dengan kalimat satire, yang sengaja aku lontarkan padanya agar ia mengerti aku tidak akan mau memperoleh sebuah titel dengan jalan seperti yang ditawarkannya.

Karena pemuda itu telah aku anggap sebagai anakku sendiri, maka aku katakan padanya ''sebenarnya perbuatanmu itu kurang baik tidak dapat dipertanggung jawabkan sebagai seorang sarjana, lagi pula menunjukkan suatu bahwa kita tidak percaya pada diri sendiri. Kuliah yang kita jalani bukan untuk mengejar titel akan tetapi mencari dan mendapatkan ilmu. Ilmu yang kita peroleh dengan perjuangan sehingga memperoleh titel maka ilmu itulah yang menjadi bekal perjalanan hidup kita sesuai dengan ilmu yang sudah kita cerna. Buat apa kita menyandang sederet titel jika ilmu itu tidak memberikan mamfaatnya dalam kehidupan kita”.

Fenomena ini, bukan hanya terhadap pemuda itu tadi. Tapi terlihat jelas dalam realita kehidupan kita sekarang. Kita tidak usah berbohong pada diri kita sendiri. Kini sudah banyak orang yang menyandang sederet titel dibelakang namanya, seolah-olah penggunaan sederet titel dibelakang nama pemakainya telah membentuk dan rupakan kaum ''elit baru'' yang perlu diperhitungkan.

Coba saja kita perhatikan, ternyata penyakit ini telah menular pada pejabat-pejabat negara. Sudah banyak pejabat-pejabat negara di negeri ini yang telah menyandang sederet titel di belakang namanya. Kita tidak bermaksud suuzon. Coba kita berpikir sejenak dalam kesibukan mengurus negara apakah mereka (para pejabat) sempat mengikuti kuliah hingga dapat menggodol titel Doktor atau titel sarjana lainnya.

Semua orang pasti sudah tahu untuk mempersiapkan sebuah disertasi atau skripsi ilmiah, kita harus menyediakan waktu yang cukup, agar dapat diterima. Kita yang pernah duduk dibangku kuliah dapat merasakan betapa sulitnya kita untuk mendapat sehelai ijazah. Kita tidak perlu memicingkan mata, orang-orang akan terkesima bila ada seseorang yang menyandang sederetan titel selalu mendapat fasilitas-fasilitas.

Bila seorang Caleg, atau calon Eksekutif (Camat,Bupati dsb) misalnya akan mendapat tawaran untuk diorbitkan. Sebagai konsekuensi dari “kemaruknya” pengejar titel maka bermunculah Lembaga-lembaga Pendidikan yang belum teruji “keilmiahannya” dan identitasnya,menawarkan gelar itu. Dan sudah dapat dipastikan maka orang-orang yang berduitlah akan memonopolinya.

Negeri ini tentu dapat bangga bahwa rakyat dan pejabat-pejabat semanya adalah kaum intelektual.Tapi mengapa kita melakukan jalan pintas yang tidak terpunji seperti itu. Akhirnya pasti banyak orang akan berpikir neofeodalisme versi baru telah tumbuh dinegeri ini. Bila dahulu sebelum Kemerdekaan, Negeri ini masih dibawah payungnya kaum penjajah titel-titel/gelar bangsawan menunjukkan kelas kehidupan tersendiri dalam masyarakat sebagai “kaum elit” yang selalu difasilitasi mendapatkan kedudukan yang tinggi karena berdarah biru. Hal itu tentu masih dapat diterima akal, karena idealisme kaum penjajah melakukan politik pecah belah.

Tapi rupanya sekarang negeri ini telah terkontaminasi dengan sistem masyarakat feodal seperti ini. Sekalipun dalam bentuk versi yang berbeda dengan versi Feodalisme Kolonialisme, namun ujudnya tidak berbeda. Ini sangat kita sayangkan. Bahkan akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan negeri sendiri, karena secara langsung ataupun tidak telah memperbodoh rakyatnya. Lalu kita sama-sama bertanya kemana negeri ini akan kita bawa. Para pejuang Kemerdekaan yang mendirikan Republik ini yangingin memupus sistem feodalisme akan sia-sia. ***

Penulis adalah orang Riau bermastautin di Jakarta.