JAKARTA, GORIAU.COM - Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri membenarkan ada ribuan tenaga kerja asing dari China yang sudah masuk dan bekerja di Indonesia. Sampai akhir Juni 2015, Menteri Hanif memastikan ada 12 ribu buruh asal China di Indonesia.

Kontroversi mengenai keberadaan tenaga kerja dari China ini merebak setelah sejumlah media memberitakan beberapa proyek pembangunan infrastruktur yang dikerjakan sepenuhnya oleh buruh China, di beberapa lokasi di Indonesia. Di lokasi ini, mereka bahkan diperlakukan lebih baik daripada buruh lokal asal Indonesia.

Lokasi yang dimaksud adalah proyek pembangunan PLTU Celukan Bawang di Buleleng, Bali. Proyek ini dibangun konsorsium China Huadian Power Plant Operation Co. Ltd., China Huadian Engineering Co. Ltd, PT CR 17, dan mitra lokal PT General Energy Bali. Pembangkit listrik ini bakal berkapasitas 3x100 megawatt  dengan nilai investasi sekitar Rp9 triliun. Total ada 133 pekerja asal China di proyek ini.

  Dua pekerja lokal di proyek ini mengeluhkan perlakuan tak adil yang mereka terima, jika dibandingkan dengan buruh asal China. Seorang juru bahasa dari Indonesia menunjuk gaji staf keuangan asal China mencapai Rp10 juta per bulan. Pegawai kasar asal China diberi upah Rp3-4 juta sebulan. Ini jauh lebih besar ketimbang upah buruh kasar lokal yang maksimal Rp2 juta saban bulan.

Selain itu, buruh asal China mendapat fasilitas mess berukuran 5x5 meter persegi dilengkapi penyejuk udara, untuk dipakai bersama tiga orang. Pekerja dari Tiongkok juga mendapat jatah makan lebih. Mereka mendapat jatah makan tiga kali dengan menu nasi, sup, telur, dan daging babi. Menu ikan laut dihidangkan dua pekan sekali. Sementara itu, para buruh lokal hanya menyantap nasi bungkus dari warung di sekitar lokasi proyek.

Direktur Pembinaan Pengawasan Tenaga Kerja di Kementerian Tenaga Kerja, Muji Handaya, menjelaskan keberadaan buruh China ini penting untuk membantu kelancaran proyek. "Kontraktor bisa berkomunikasi dengan lancar jika menggunakan tenaga kerja asal China," kata dia, seperti dikutip Laporan Utama Majalah Tempo yang terbit Senin 31 Agustus 2015.  

"Yang penting rasionya: tiap satu pekerja asing, diimbangi dengan sepuluh tenaga lokal. Kalau itu terpenuhi, (maka) sah," katanya.***