TIDAK semua orang mengingat-ingat hari, bulan dan tahun kelahirannya. Mungkin karena tidak mampu, atau juga karena merasa tidak penting. Sebagian bisa saja tidak melakukannya karena lupa akan hari di mana ibundanya yang bersusah payah melahirkan – usai membawa beban perut besar berisikan dirinya ke sana-kemari selama sembilan bulan dengan penderitaan.

Namun, ada sebagian lagi merasa perlu mengingat-ingat hari istimewa tersebut. Sebagai bentuk rasa syukur, bukti eksistensi atau apapun namanya. Mereka membuatkan acara – sederhana atau mewah -karena dia masih hidup. Mereka merayakan-membesarkan karena masih ada yang dapat diingat. Dari ingatan, mungkin muncul rasa bersyukur, walau mungkin tidak sedikit yang malah kufur.

Ternyata, hari kelahiran menjadi sangat penting bagi sebagian kalangan. Bukan untuk memperingati kelahiran mereka sendiri, namun orang lain yang ketika ia hidup dirinya malah tidak pernah memperingatinya sama sekali. Saat kematian telah menjelang begitu lama, orang-orang mulai mengingat, mengenang, lalu memperingatinya tiap tahun.

Bisa tujuannya ingin menyambung rantai sejarah yang hampir lesap, baik tidak secara sengaja atau sebalik ada proses terstruktur-massif dan terencana untuk menghapusnya dari ingatan. Tentu ini terjadi hanya pada mereka yang hidupnya sangat teramat istimewa. Ia dikenang pengikutnya, ‘penyembahnya, pemujanya. Untuk mengenang jasanya, perjuangannya, pengorbanannya, kebaikannya, jalan lurusnya, keyakinannya atau agama yang dibawanya.

Rasulullah Muhammad SAW misalnya, bukan hanya dikenang setahun sekali bahkan setiap Muslim mengingat dan menyebut namanya secara langsung atau dengan kata ganti lain setiap hari minimal 33 kali saat shalat wajib. Belum termasuk azan dan iqomah. Akan semakin banyak disebut para pengikutnya dalam berbagai shalat sunnah dan salawat. Mengingatnya bagian dari ibadah, mungkin juga symbol dari kebesaran dan komitmen pengikut ajarannya.

Manusia awam, mati tak lagi diingat orang kelahirannya. Berapa lama ia hidup di dunia, bila dia mati, apa yang dibuatnya, bagaimana perangai yang ditinggalkannya. Bilapun ingat, hanya mereka yang pernah bersua langsung dengannya atau generasi pertama setelahnya yang mendapat cerita. Setelah itu, selesailah. Bahkan orang yang keluar dari penjarapun mungkin malu untuk memperingati kemerdekaannya itu.

Berbeda dengan negara. Dia lahir dari sebuah peristiwa luar biasa. Pengorbanan harta, benda, nyawa, keluarga, bangsa. Masa-masa di manan hukum dibunuh atau membunuh dialami. Ada proses perjuangan, melawan penjajahan, merebut kembali kedaulatan, atau mempertahankan kemerdekaan.Lama. Puluhan, bahkan ratusan tahun untuk memperjuangkannya.

Tiap tahun, negara memperingati hari kelahirannya, kemerdekaannya, kedaulatannya, kebebasannya, penderitaannya dari penjajah. Mengistimewakannya. Mengingat-ingat jasa para pahlawan dan mendo’akannya walaupun mungkin bahkan mereka tak dikenal sama sekali.

Pejuang yang berhasil membebaskan dan memerdekakan tanahnya, airnya, bangsanya, negaranya. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Ia tak didapat begitu saja, mampir tiba-tiba di depan mata lalu bangsanya sejahtera.

Dalam penjajajahan, ada kaki tangan-pesuruhnya yang menjadi pengkhianat bangsa- bersatu bersama ‘penumpang gelap’. Tak heran kemerdekaan sulit diperoleh.

Di saat kemerdekaan, juga ada para pengkhianat dan penumpang gelap sehingga pemerataan pembangunan, kesetaraan, kesejahteraan, persatuan dan keadilan sulit dicapai. Merdeka, tapi dijajah. Dijajah, berarti belum merdeka. Kemerdekaan patut diperjuangkan, patut dipertahankan, wajib dibela. Kemerdekaan bukan untuk diperjualbelikan, digadaikan.

Di masa kemerdekaan, para pengkhianat sejatinya adalah penjajah itu sendiri. Penjajah terselubung; dia dipercaya tapi dikhianatinya, dia disumpah malah makan sumpah, dia dapat jabatan diperjualbelikannya. Para pengkhianat, sadar akan kejahatan yang dilakukannya, sama seperti penjajah yang sadar atas tidak berperikemanusiaannya. Mereka ini berkerja dengan manipulatif.

Mega koruptor adalah pengkhianat, para pelindungnya adalah penjajahnya. Korupsi jabatan, korupsi politik, korupsi hukum adalah modus pengkhianatan terpopuler di era kemerdekaan.

Sudah berapa banyak catatan sejarah mempertontonkan bahwa hilangnya sebuah bangsa, kebesaran dan kedaulatannya dimulai dari para pengkhianat yang ada di dalam bangsa itu sendiri. Mereka inilah para pembegal kedaulatan negara dan bangsa. Mereka menjadi perampok di dalam rumah sendiri.

Kini, belum terlambat untuk memerangi mereka.***

Ahmad Jamaan adalah dosen FISIP Universitas Riau.