JAKARTA - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengeritik kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang merekomendasikan buku-buku berisi cerita cabul dan kekerasan seksual masuk dalam kurikulum.

Wakil Ketua Majelis Pendidikan Dasar, Menengah dan Nonformal (Dikdasmen PNF) Pimpinan Pusat PP Muhammadiyah Alpha Amirrachman mengatakan, buku-buku sastra yang direkomendasikan itu berpotensi memberikan pemahaman yang keliru bagi anak-anak bangsa, terutama dalam ranah etika dan perilaku dalam membangun hubungan antarmanusia yang pantas dan beradab. Juga tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 44 Tahun 2008 yang melarang menyebarkan pornografi termasuk perilaku yang menyimpang dalam bentuk apapun.

"Buku-buku tersebut tentu kontraproduktif dengan penguatan pendidikan karakter yang sedang digalakkan," ujar Alpha, dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (30/5/2024), seperti dikutip dari Republika.co.id.

Alpha menyebutkan beberapa contoh frasa dan kalimat cabul dan kekerasan dalam buku-buku sastra yang direkom Kemendikbud masuk kurikulum tersebut.

"Tetapi lelaki itu menarik tubuhku. Kemudian, bersamaan dengan gerak mengayun ke bawah yang indah, sebuah XXXXXX bergelora hinggap di XXXXX. aku tidak melawan, bahkan XXXXX kami terurai saat ia berbisik perlahan."

"Rambutnya dijambak. Lehernya dibetot, dipelintir, dan diinjak. XXXXXXX ditebas."

"….. kau tak mau XXXXXXXXXX dengan pria-pria bertenaga kuda. Aku punya fotomu bersama XXXXX…"

Menurut Alpha, terdapat juga kisah di mana seorang anak perempuan yang terganggu kejiwaannya dieksploitasi secara seksual oleh seorang dewasa.

Dia menegaskan, disclaimer yang disebutkan di dalam buku panduan, tidak akan menjamin menghalangi siswa membaca buku-buku sastra itu.Terutama bagi siswa pada fase usia yang memiliki rasa keingintahuan yang besar untuk mengeksplorasinya lebih jauh hal yang tidak sesuai dengan norma kesusilaan dan agama.

Selain itu, kata Alpha, buku-buku sastra yang direkomendasikan itu juga dapat menimbulkan kegaduhan di kalangan masyarakat. Hal itu kemudian dapat juga mendisrupsi kegiatan belajar-mengajar yang sebelumnya sudah terhambat karena kurang ada perhatian khusus dari Kemendikbudristek dalam menjawab learning lost Covid-19 yang mengakibatkan kemunduran memprihantikan pada hasil PISA.

"Majelis Dikdasmen PNF PP Muhammadiyah mendesak Kemendibudrsitek untuk berhati-hati dalam membuat kebijakan dan mengkonsultasikannya secara luas dengan para pemangku kepentingan pendidikan yang relevan," kata Alpha.

Diminta Hentikan Kecerobohan

Sementara itu, Wakil Ketua Perkumpulan Nusantara Utama Cita (NU Circle) Ahmad Rizali mengingatkan Mendikbudristek Nadiem Makarim agar tak menyebarkan adegan seksualitas di lingkungan sekolah.

Menurut dia, dalam program Sastra Masuk Kurikulum, pendukung Kurikulum Merdeka, banyak karya sastra beradegan cabul dan vulgar direkomendasikan secara resmi menjadi bacaan anak-anak di sekolah.

“Adegan cabul yang mengumbar narasi seksualitas dan persenggamaan sangat tidak layak masuk kurikulum pendidikan nasional. Nadiem harus menghentikan kecerobohan ini. Pemerintah harus menjaga keadaban manusia melalui pendidikan kemanusiaan yang adil dan beradab,” kata Ahmad saat dikonfirmasi, Rabu (29/5/2024). 

Dia menjelaskan, dalam program tersebut, Kemendikbudristek membuat rekomendasi sejumlah karya sastra sebagai bacaan guru dan anak-anak sekolah. Konyolnya, kata dia, banyak karya sastra murahan yang mengumbar adegan seksualitas dan persenggamaan dimasukkan secara resmi sebagai bahan bacaan yang direkomendasikan. 

Salah satu contoh yang dia sampaikan adalah cerpen berjudul “Rumah Kawin” yang ditulis Zen Hae. Cerpen itu diterbitkan tahun 2004. Di halaman 48 cerpen tersebut berbunyi, “Batang ‘zak…”. Mamat Jago yang serupa ikan “....” terasa menekan “selang....” Sarti.” Lalu halaman 47 “Tangannya terus meremasi ‘pan…’ Sarti dan menyorongkan mulut monyongnya....ke….”

Ahmad menegaskan, panduan yang dibuat Kemdikbudristek dalam Program Sastra Masuk Kurikulum termasuk dalam kategori pelanggaran norma kesusilaan. Sebab, kata dia, hal tersebut telah mengumbar persenggamaan melalui tulisan. 

“Undang-Undang (UU) Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi jelas mengatur masalah ini dan melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Karena itu NU Circle minta program ini harus dihentikan dan dibuat secara lebih beradab dan lebih profesional,” tegas Ahmad.

Dia menerangkan, UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi mendefinisikan pornografi adalah gambar, sketsa, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Dalam pasal 4 ayat 1 aturan itu tegas disebutkan larangan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang, kekerasan seksual, masturbasi, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin atau pornografi anak. 

“Ini bukti Profil Pelajar Pancasila yang tidak diturunkan secara langsung dari setiap Sila Pancasila telah membuat Kemdikbudristek bebas merdeka melakukan apa saja termasuk memasukkan pendidikan ketidakberadaban dalam Kurikulum Merdeka,” jelas dia. 

Ahman melihat, problem besar pendidikan nasional saat ini adalah rendahnya mutu berpikir siswa karena kompetensi literasi dan numerasi sangat memprihatinkan.

“Mengapa Kemdikbudristek tidak fokus di sini? Seharusnya perang besar pemerintah adalah memberantas kebodohan ini dan bukan membuat program yang justru menurunkan akal sehat dan mengubah syahwat kebinalan,” ujar dia.

Ahmad juga mendesak pemerintah, termasuk pemerintahan Prabowo- Gibran kelak untuk lebih fokus memerangi kebodohan literasi dan numerasi ini dengan menerbitkan Peraturan Presiden atau Instruksi Presiden tentang Peningkatan Mutu Literasi dan Numerasi Pendidikan Dasar dan Menengah.

Tak Wajib Digunakan

Menanggapi kritikan tersebut, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo menyatakan, buku-buku yang direkomendasikan di dalam program Satra Masuk Kurikulum sama sekali tidak diwajibkan untuk digunakan di kelas. Buku-buku yang dinilai bermuatan vulgar pun sangat mungkin untuk dikeluarkan dari daftar tersebut.

"Memungkinkan untuk dicabut, ini menjadi masukan yang dibahas oleh tim kurator dalam memilih buku," ujar Anindito Aditomo kepada Republika, Rabu (29/5/2024).

Pria yang kerap disapa Nino itu menjelaskan, daftar rekomendasi buku sastra dalam program Sastra Masuk Kurikulum merupakan dokumen hidup yang dapat berkembang seiring waktu dan dapat diubah sesuai dengan kebutuhan. Tujuannya agar semakin banyak karya sastra yang dapat menjadi bahan ajar di sekolah sebagai salah satu cara meningkatkan minat baca dan budaya literasi.

"Kemendikbudristek terbuka terhadap saran, masukan, dan usulan dari masyarakat yang dapat disampaikan melalui laman buku.kemdikbud.go.id. Usulan dari masyarakat akan dikurasi sesuai kriteria pemilihan yang telah ditentukan," jelas Nino.

⁠Menurut dia, daftar karya sastra dalam program Sastra Masuk Kurikulum telah melalui proses kurasi dengan kriteria yang dirumuskan tim kurator. Proses kurasi dilakukan oleh tim kurator yang terdiri atas sastrawan, akademisi, dan guru. Daftar itu tidak mewajibkan guru menggunakan buku-buku tersebut.

"Melainkan alat bantu bagi guru yang ingin menggunakan karya sastra untuk memilih karya yang sesuai untuk murid dan tujuan pembelajarannya," kata dia.

Nino menerangkan, program tersebut bertujuan untuk membantu guru dengan cara memberi penafian atau disclaimer dan keterkaitannya dengan capaian pembelajaran yang dijelaskan dalam panduan penggunaan buku sastra.

⁠"Tujuan dari program Sastra Masuk Kurikulum adalah memasukkan karya sastra dalam proses pembelajaran guna meningkatkan minat baca, menumbuhkan empati, dan mengasah kreativitas serta nalar kritis murid di jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK," terang Nino.

Dia juga menuturkan, buku-buku tersebut adalah buku-buku yang sudah terbit dan beredar di Indonesia, dan sama sekali tidak diwajibkan untuk digunakan di kelas. Panduan yang dibuat oleh Pusat Perbukuan justru menjadi alat bantu bagi guru yang tertarik menggunakan karya sastra dalam pembelajarannya.

"Justru buku panduan itu dimaksudkan untuk memberi peringatan ketika di sebuah karya sastra ada muatan yang sensitif, agar guru bisa bersiap dengan cara memandu muridnya, atau menghindari buku tersebut jika memang dirasa tidak cocok atau tak sesuai dengan muridnya," kata dia.***