SETIAP 10 tahun sekali Konferensi Asia Afrika diperingati. Tahun ini genap enam dasawarsa konferensi yang melahirkan Dasa Sila Bandung itu dirayakan di Jakarta dan Bandung. 

Terlaksananya KAA tidak bisa lepas dari peran Indonesia. Di samping sebagai salah satu pelopor dan pemrakarsa KAA, Indonesia menyediakan diri sebagai tempat penyelenggaraan KAA. Hal ini membuktikan prestasi Kabinet Ali Sastroamijoyo yang berhasil menyelenggarakan suatu kegiatan yang bersifat internasional.

KAA berpengaruh sangat besar dalam upaya menciptakan perdamaian dunia dan mengakhiri penjajahan di seluruh dunia secara damai, khususnya di Asia dan Afrika. Semangat KAA untuk tidak berpihak pada blok Barat maupun blok Timur telah mendorong lahirnya Gerakan Nonblok. Dengan demikian ketegangan dunia dapat diredam.

Bagi Indonesia, KAA memberikan dua keuntungan. Pertama pemerintah Indonesia berhasil mencapai kesepakatan mengenai masalah RRC dwikewarganegaraan. Usai konferensi, mereka yang memiliki dwikewarganegaraan diharuskan memilih menjadi warga negara Indonesia atau warga negara RRC. Kedua, RI mendapat dukungan dalam perjuangan pengembalian Irian Barat.

Berikut ini makna dan arti penting terselenggaranya KAA, adalah merupakan pendorong kemerdekaan bangsa-bangsa Asia - Afrika untuk lepas dari cengkeraman imperialisme dan kolonialisme Barat, menjadi pendorong lahirnya Gerakan Nonblok, merupakan pencetus semangat solidaritas dan kebangkitan negara Asia Afrika dalam menggalang persatuan, memberikan harapan baru bagi bangsa-bangsa yang sudah maupun belum merdeka, mulai diikutinya politik luar negeri bebas dan aktif yang dijalankan oleh Indonesia, India, Myanmar, dan Sri Lanka, kembali bangkit dan sadarnya bangsa-bangsa Asia dan Afrika akan potensi yang dimiliki, diakuinya nilai-nilai Dasasila Bandung oleh negara-negara maju karena terbukti memiliki kemampuan dalam meredakan ketegangan dunia, dan mulai dihapuskannya praktik-praktik politik diskriminasi ras oleh negara-negara maju.

Penyelenggaraan KAA mempunyai tujuan berikut, mengembangkan saling pengertian dan kerja sama antarbangsa Asia Afrika meningkatkan persahabatan, membicarakan dan mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan kebudayaan, memerhatikan masalah khusus terkait dengan kedaulatan, kolonialisme, dan imperialism, memerhatikan posisi dan partisipasi Asia Afrika dan bangsa-bangsa dalam dunia internasional.

Pelopor Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika, yakni Ali Sastroamidjoyo (Indonesia), Jawaharlal Nehru (India), John Kotelawala (Sri Lanka), Muhammad Ali Bogra (Pakistan), dan Unu (Myanmar). Sedangkan kala itu, KAA dihadiri 29 negara yaitu Indonesia, Afghanistan, Kamboja, RRC/Cina, Mesir, Ethiopia, India, Filipina, Birma, Pakistan, Srilanka, Vietnam Utara, Vietnam Selatan, Saudi Arabia, Yaman, Syiria, Thailand, Turki, Iran, Irak, Sudan, Laos, Libanon, Liberia, Thailand, Ghana, Nepal, Yordania, dan Jepang.

Dari negara-negara yang diundang tersebut muncul tiga golongan, yakni golongan prokomunis, yaitu RRC dan Vietnam Utara, golongan pro-Barat, yaitu Filipina, Thailand, Pakistan, Irak, dan Turki, dan golongan netral, yaitu India, Birma, Sri Lanka, dan Indonesia.

Hasil dan keputusan yang dicapai dalam KAA, antara lain kerja sama bidang ekonomi, kebudayaan, hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri, serta memajukan perdamaian dunia. Hasil KAA yang paling mendasar adalah Dasasila Bandung, pertama menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), kedua, menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa, ketiga, mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil, keempat, tidak melakukan campur tangan atau intervensi dalam soalan-soalan dalam negeri negara lain, kelima, menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendirian mahupun secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB, keenam, (a) Tidak menggunakan peraturan-peraturan dan pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara-negara besar, (b) Tidak melakukan campur tangan terhadap negara lain, ketujuh, tidak melakukan tindakan ataupun ancaman agresi mahupun penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara, delapan, menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan cara damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi, atau penyelesaian masalah hukum , ataupun lain-lain cara damai, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan, yang sesuai dengan Piagam PBB, sembilan, memajukan kepentingan bersama dan kerjasama, dan kesepuluh menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.

Melalui Dasasila Bandung juga diperjuangkan perdamaian dunia dengan meredakan ketegangan internasional akibat Perang Dingin. Hasil dari KAA ini akan mengilhami lahirnya Gerakan Nonblok, Indonesia merupakan salah satu pelopornya.

Kembali ke pagelaran KAA yang digelar bulan ini, dengan tuan rumah Bandung, dan Jakarta. Kegiatan ini akan dihadiri delegasi dari 79 negara, 28 di antaranya adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Apa arti penting peringatan 60 tahun KAA bagi Indonesia saat ini?

Ada sejumlah arti peringatan 60 tahun KAA kali ini bagi Indonesia. Di antaranya adalah berusaha untuk mengangkat kembali semangat tahun 55 (saat digelar KAA), karena itu merupakan salah satu modal untuk membangkitkan kepercayaan diri untuk menjadi negara besar.

Hal ini disampaikan Pakar politik internasional Juwono Sudarsono, saat berbincang dengan detikcom, Kamis (9/4/2015) lalu di Pondok Indah, Jakarta Selatan. 

Apalagi menurut mantan Menteri Pertahanan itu, sekarang kondisi ekonomi dunia sedang melemah. Dua negara besar di Asia yakni Tiongkok dan Jepang akan berperan banyak dalam perekonomian dunia saat ini. Perekonomian Tiongkok yang lagi naik daun diperkirakan akan bersaing ketat dengan Jepang. 

Indonesia, kata Juwono, akan dijepit oleh dua kekuatan ekonomi dunia yakni Jepang dan Tiongkok. Dua negara itu menganggap Indonesia adalah pasar besar yang kaya sumber daya alam. 

Jepang dengan Asian Development Bank-nya sudah lebih dulu membantu Indonesia dalam sejumlah pembangunan infrastruktur. Sementara rencananya dalam waktu dekat ini Presiden Tiongkok Xi Jinping juga akan datang ke Indonesia. Terbuka kemungkinan Tiongkok melalui Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) mengambil alih sejumlah proyek infrastruktur di Indonesia. 

Di Indonesia, Negeri Tirai Bambu dan Negeri Sakura itu akan terlibat dalam 'pertarungan' negosiasi. Lalu siapa yang sebaiknya dipilih oleh Indonesia sebagai mitra?.

"Tergantung dari pemerintahan Jokowi siapa yang lebih menguntungkan. Kita harus nego dengan pemerintah Jepang dan nego dengan pemerintah Tiongkok," kata Juwono. 

Jika merujuk dari pernyataan Juwono Sudarsono, Pemerintah RI harusnya mengambil momen untuk membangkitkan negara ini dari keterpurukan dari berbagai sisi. Misalkan saja, Indonesia saat ini sudah tidak didengar lagi oleh bangsa-bangsa lain, karena dalam posisi yang tidak menguntungkan.

Hal ini pasti dari faktor keseriusan pemimpin bangsa untuk merubah pola pikir seluruh stakeholder dalam menghadapi persaingan global. Sudah saatnyalah Negara ini kembali bangkit dari keterpurukan. Tanpa kebersamaan, diyakini tujuan untuk membangkitkan kepercayaan diri menjadi Negara besar tidaklah akan terwujud.

Mari songsong pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika, semoga Indonesia makin percaya diri dalam mewujudkan kebangkitan dalam berbagai hal di negerinya, dan makin dipandang oleh Negara lain.***

Penulis adalah peneliti pada Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)