JAMBI - Sebanyak 1.047 mahasiswa dari 33 universitas di Indonesia menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berkedok ferienjob (magang) di Jerman. Sembilan diantaranya merupakan mahasiswa Universitas Jambi (Unja).

Dikutip dari Tempo.co, RM, salah seorang mahasiswa Unja yang menjadi korban menceritakan alasannya memutuskan mengikuti program magang bodong tersebut hingga penderitaan yang dialaminya setelah berada di Jerman, kepada Direktur Beranda Perempuan Indonesia Zubaidah.

"Program ferienjob ini dipromosikan dan direkomendasikan oleh universitas dengan iming-iming program kerja magang dengan gaji tinggi dengan nilai konversi sebanyak 20 SKS,” kata Zubaidah, dalam keterangan resminya pada Ahad (24/3/2024).

Zubaidah mengatakan, RM pada awalnya merasa yakin untuk mengikuti program dengan durasi tiga bulan itu. Alasannya, RM melihat ada salah satu guru besar di Fakultas Ekonomi Unja menjadi partner program ferienjob ini. Setelah melewati berbagai proses, RM akhirnya bekerja di Jerman.

“RM bekerja di Jerman sebagai buruh bangunan dan buruh angkut barang di salah satu perusahaan jasa pengiriman paket di Jerman,” kata dia.

Zubaidah menyebutkan, RM bekerja di Jerman untuk mengangkat beban paket mencapai 30 kilogram secara manual. Tak hanya itu, dia juga bekerja dalam durasi yang panjang sekaligus tak wajar hingga kelelahan.   

Berharap mendapat gaji setimpal, Zubaidah menyebut RM dibuat kecut saat menerima upah. Jauh panggang dari api, upah RM lebih rendah dari nominal yang ditawarkan dalam kontrak. 

“Upah per bulan tidak cukup untuk membayar biaya akomodasi yang harus ia tanggung sendiri. RM dan 8 mahasiswa korban dari UNJA lainnya didampingi oleh Beranda Perempuan,” kata Zubaidah. 

Zubaidah menyebut para agen dalam program ini diduga juga menjebak mahasiswa dalam jeratan utang melalui skema dana talangan. Dia menyebut mahasiswa dibebankan utang biaya tiket pesawat dengan harga dua kali lipat dari harga normal plus bunga 5 persen dan pinjaman untuk biaya akomodasi dengan total mencapai 30-50 juta rupiah. 

“Utang ini harus dibayar dengan cara dicicil dari upah yang diterima oleh mahasiswa setelah bekerja,” kata Zubaidah. 

Dalam praktik kerja, Zubaidah menyebut para mahasiswa mengerjakan tugas kasar, seperti pelayan restoran, sortir paket, mengemas dan mengantar paket. Mahasiswa ini juga disebut bekerja di perusahaan yang mengalami kekurangan tenaga. Sebut saja, restoran cepat saji, kafe, perusahaan pengiriman barang, dan e-commerse. 

“Jenis-jenis pekerjaan ini sama sekali tidak berhubungan dengan konsentrasi kuliah mahasiswa,” kata dia. 

Tak hanya itu, Zubaidah juga menyebut ada perusahaan yang menekan dan mengintimidasi kepada korban yang tak sanggup membayar utang. Dia menyebut salah satu mahasiswi dari Universitas Binawan disomasi hingga diistirahatkan karena tak membayar dana talangan.  

“Hingga saat ini, banyak korban yang belum berani menyuarakan kasus karena tekanan-tekanan yang diterima korban dan belum ada jaminan keamanan dari universitas untuk memastikan mereka mendapatkan hak atas perlindungan sebagai mahasiswa,” kata dia. 

Minta Pemerintah dan Universitas Tanggung Jawab

Beranda Perempuan dan Beranda Migran merasa prihatin atas praktik tindak pidana perdagangan orang atau TPPO berkedok magang di Jerman. Dari praktik lancung ini telah menelan sekitar 1.047 korban dari 33 universitas di Indonesia. 

Direktur Beranda Perempuan Indonesia Zubaidah, meminta semua pihak yang terlibat untuk bertanggung jawab dan mengusut kasus ini hingga ke akar-akarnya. Dia menyebut ribuan orang yang masih menyandang status mahasiswa ini menjadi korban juga ada campur tangan universitas masing-masing. 

“Mereka terjebak pada program magang bodong ini karena ada campur tangan dari universitas. Mahasiswa diperlakukan sebagai objek percobaan pendidikan yang dengan seenaknya dimobilisasi untuk mencukupi kebutuhan tenaga kerja manual di Jerman,” kata Zubaidah melalui keterangan resminya pada Ahad (24/3/2024). Lembaga Zubaidah saat ini mendampingi para penyintas TPPO di Universitas Jambi. 

Zubaidah menilai praktik seperti ini merupakan cermin dari sistem pendidikan yang memosisikan universitas sebagai mesin pencetak tenaga kerja murah. Alih-alih menjadi tempat menuntut ilmu, dia menilai universitas berperan mempromotori perdagangan manusia.  

“Universitas telah abai dan lalai dalam menjamin keamanan dan perkembangan,” kata dia. 

Kepada universitas yang terlibat, Zubaidah melalui lembaganya menuntut akuntabilitas kampus untuk menghentikan seluruh program magang di luar negeri yang merugikan mahasiswa dan keluarga. Pasca-peristwa ini, dia meminta kampus memberikan pendampingan gratis kepada para korban dan keluarga yang telah dirugikan. 

“Memberikan jaminan keamanan dan perlindungan bagi korban untuk melanjutkan kuliah,” kata dia. 

Dia  juga meminta kampus untuk menjamin pemulihan dan kompensasi korban dan keluarga atas praktik ini.

“Lindungi korban dari segala bentuk intimidasi,” kata Zubaidah. 

Sementara itu, Zubaidah juga meminta pertanggungjawaban dari pemerintah atas dugaan TPPO yang melibatkan mahasiswa ini. Dia mendesak pemerintah menginvestigasi sindikat perekrutan mahasiswa untuk program magang bodong ini. 

Sejalan itu, dia juga minta pemerintah Indonesia menghentikan seluruh prkatik perekrutan mahasiswa ke luar negeri yang merugikan.

“Menghukum para pelaku TPPO yang menarget mahasiswa. Menjamin pemulihan dan kompensasi korban dan keluarga,” kata Zubaidah. 

Zubaidah juga meminta pemerintah agar rutin berkonsultasi dengan berbagai kelompok peduli migran, TPPO, dan mahasiswa. Bersamaan langkah itu, dia meminta pemerintah segera melakukan penyuluhan kepada seluruh universitas atas persoalan ini.***