PEKANBARU – Tidak lama lagi, masyarakat Riau akan menghadapi ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak Tahun 2024. Itu berarti, kemajuan daerah baik provinsi maupun kabupaten, akan sangat bergantung kepada siapa yang akan memimpin.

Lalu, bagaimana idealnya tentang seorang pemimpin selalu pemangku kebijakan?

Menurut Psikolog Universitas Islam Riau (UIR) Dr. Sigit Nugroho.M.Psi, secara umum masyarakat Riau bisa melihat dan menilai sifat calon pemimpin di Riau, dengan melihat apa yang telah dilakukannya selama ini. Baik yang berlatar belakang politisi, birokrat atau pun pengusaha dan lainnya.

"Jadi masyarakat harus bijak dalam memilih pemimpin, agar tidak ada kebijakan atau aturannya nanti yang dapat merugikan banyak orang," ujarnya.

Menurutnya, ada beberapa hal yang ideal yang harus dimiliki seorang pemimpin atau pemangku kepentingan di Bumi Lancang Kuning.

Diantaranya adalah memiliki integritas. Yang dimaksudkan di sini adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh, sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan atau kejujuran

Selain itu adalah akuntabilitas, yaitu bentuk pertanggungjawaban individu atau organisasi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Yang ketiga adalah kredibilitas atau kepercayaan. Yaitu kualitas, kapabilitas, atau kekuatan untuk menimbulkan kepercayaan banyak orang kepadanya.

Perasaan tak Aman

Di sisi lain, Sigit juga menyorot fenomena yang tak jarang terjadi saat sebuah kepemimpinan berjalan.

Salah satunya adalah sikap pemimpin yang sering melakukan pressure terhadap jajaran atau bawahannya. Yang biasanya, paling dirasakan pejabat yang sudah berada pada tingkatan eselon tinggi.

Menurut Sigit, hal ini terjadi sebagai bentuk ketidakamanan psikologis (perasaan insecure) dari yang bersangkutan.

Perasaan insecure biasanya akan memicu munculnya tindakan-tindakan agresif sebagai mekanisme pertahanan diri

"Tentu hal ini tidak baik jika menurunkan performa dalam pelayanan kepada masyarakat dari bawahan-bawahan yang mendapatkan pressure tersebut, " tuturnya.

Ditambahkannya, perilaku yang demikian, biasanya dilakukan untuk menunjukkan dominasi power yang berfungsi sebagai kontrol atas jajarannya. Tak jarang tekanan itu kadang digunakan secara berlebihan.

Faktor yang menyebabkan munculnya gejala insecure itu, bisa karena takut kehilangan jabatan yang digenggamnya.

"Sayangnya, tak jarang hal Ini membuat si pemimpin melakukan kebijakan yang justru merugikan kepentingan publik," ujar Sigit Nugroho.

Secara umum, perasaan insecure adalah gejala umum yang dimiliki oleh manusia yang sebenarnya lemah dalam kapasitas, namun mendapatkan suatu posisi yang memiliki wewenang yang besar untuk memerintah banyak orang.

Sehingga banyak kebijakan atau aturan yang dikeluarkan olehnya, pada akhirnya lebih menguntungkan dirinya sendiri atau kelompoknya, namun merugikan banyak orang atau masyarakat.

"Kita harapkan, para pemimpin saat ini harus memiliki motif berkuasa yang benar, yakni untuk memberikan pelayanan yang besar kepada masyarakat. Bukan hanya jalan bagi mendapatkan akses-akses ekonomi untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, " ujarnya lagi.

Kalau motif berkuasanya benar dan kapasitas memimpinnya memadai, maka kebijakan yang dikeluarkan akan banyak bermanfaat untuk kepentingan orang banyak.

Namun dalam pandangannya, yang melakukan hal seperti jumlahnya tidak banyak.

"Yang paling banyak adalah keinginan berkuasa sebagai jembatan dari motif ekonomi dan status sosial, " pungkasnya. ***