PENDIDIKAN yang adil dan merata adalah dasar penting untuk membangun Indonesia yang lebih adil dan sejahtera. Sebuah sistem pendidikan yang adil memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas tinggi, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau geografis mereka. Setiap anak harus diberi kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi mereka melalui pendidikan.

Ketimpangan dalam akses ke pendidikan merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi Indonesia saat ini. Perbedaan yang signifikan dalam hal ketersediaan infrastruktur, kualitas pengajaran, dan dukungan biaya pendidikan telah menciptakan kesenjangan yang lebar. Karena ketidaksamaan ini, anak-anak di wilayah tertentu memiliki akses yang terbatas terhadap pendidikan yang layak, sementara anak-anak di wilayah lain memiliki akses yang lebih baik terhadap pendidikan. Anak-anak yang tinggal di daerah terpencil dan tertinggal seringkali menghadapi banyak tantangan, seperti harus menempuh jarak yang jauh, menghadapi kekurangan fasilitas, dan kendala ekonomi keluarga.

Ketimpangan akses pendidikan menjadi permasalahan serius yang harus segera diatasi, sebab pendidikan merupakan kunci bagi kemajuan bangsa. Pemerataan akses pendidikan yang berkualitas di seluruh wilayah Indonesia diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mendorong pembangunan yang lebih merata di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk mengurangi kesenjangan akses pendidikan antar wilayah menjadi isu penting yang harus menjadi prioritas pemerintah.

Potret Terhadap Akses Pendidikan

Salah satu cara untuk mengukur capaian pendidikan adalah dengan melihat angka partisipasi sekolah. Angka Partisipasi Murni (APM) adalah salah satu pengukuran angka partisipasi sekolah yang paling akurat untuk menggambarkan partisipasi siswa pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan kelompok usianya. APM adalah proporsi penduduk pada kelompok usia tertentu yang masih bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan kelompok usianya. APM menunjukkan seberapa banyak penduduk usia sekolah yang sudah dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan sesuai dengan jenjang pendidikannya.

Data dari Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan bahwa terdapat disparitas APM antar wilayah di Indonesia khususnya wilayah di Jawa dan daerah lainnya. Misalnya, pada jenjang Sekolah Dasar, APM di DKI Jakarta (98,44%) dan Jawa Barat (98,20%) lebih tinggi dibandingkan Nusa Tenggara Timur (95,98%) dan Papua (80,67%). Adapun pada jenjang Sekolah Menengah Pertama, APM di DKI Jakarta (84,95%) dan Jawa Barat (83,61%) jauh lebih tinggi dibandingkan Nusa Tenggara Timur (73,47%) dan Papua (60,23%). Sedangkan pada jenjang Sekolah Menengah Atas, APM di DKI Jakarta (60,81%) dan Jawa Barat (59,01%) juga lebih tinggi dibandingkan Nusa Tenggara Timur (58,15%) dan Papua (48,32%).

Dibandingkan dengan provinsi-provinsi di luar Jawa, seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua, data menunjukkan bahwa provinsi-provinsi di Pulau Jawa, seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat, memiliki anak-anak yang lebih banyak berpartisipasi aktif dalam pendidikan. Kesenjangan ini mengindikasikan bahwa akses pendidikan semakin sulit di daerah tertinggal. Rendahnya tingkat partisipasi sekolah di daerah tertinggal, terutama di tingkat SMA, menunjukkan bahwa masih banyak anak usia sekolah yang tidak bersekolah atau putus sekolah di daerah tersebut.

Faktor dan Dampak Ketimpangan Akses Pendidikan

Ekonomi masyarakat merupakan faktor utama yang menyebabkan perbedaan dalam akses pendidikan antara daerah maju dan tertinggal. Daerah yang lebih makmur secara ekonomi, seperti provinsi di Pulau Jawa, memiliki kemampuan yang lebih baik untuk menyediakan dan mendapatkan layanan pendidikan. Hal ini tercermin dari tingginya angka partisipasi sekolah di daerah tersebut. Di sisi lain, daerah tertinggal dengan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi memiliki kemungkinan yang lebih rendah untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka, yang mengakibatkan angka partisipasi sekolah yang lebih rendah.

Selain faktor ekonomi, ketersediaan dan kualitas infrastruktur pendidikan di suatu wilayah juga memengaruhi akses terhadap layanan pendidikan. Di daerah maju, ada lebih banyak sekolah, guru, dan fasilitas pendidikan yang memadai, tetapi di daerah tertinggal, anak-anak menghadapi kesulitan untuk bersekolah, terutama di jenjang yang lebih tinggi, karena kekurangan infrastruktur pendidikan. Mereka juga menghadapi hambatan lain untuk pergi ke sekolah karena jarak yang jauh dan tidak ada transportasi ideal yang menuju kesana.

Faktor sosial-budaya juga tidak kalah penting dalam memengaruhi perbedaan akses pendidikan antar daerah. Misalnya, di beberapa daerah tertinggal masih terdapat praktik-praktik budaya yang memprioritaskan Pendidikan bagi laki-laki dibandingkan perempuan. Selain itu, pandangan masyarakat yang kurang memahami pentingnya pendidikan dapat menyebabkan rendahnya partisipasi sekolah di wilayah tersebut. Di daerah-daerah dengan berbagai karakteristik sosial-budaya, menjadi tantangan tersendiri untuk mengubah perspektif masyarakat dan menghilangkan stereotip gender dalam pendidikan.

Ketimpangan akses pendidikan yang terjadi antara daerah maju dan daerah tertinggal memiliki dampak yang signifikan terhadap masa depan anak-anak. Anak-anak yang tidak dapat mengenyam pendidikan yang layak, terutama pada jenjang menengah atas, akan mengalami kesulitan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka di kemudian hari. Hal ini dapat menghambat mereka untuk dapat berkompetisi secara adil dalam lapangan kerja dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan daerah mereka sendiri.

Selain itu, ketimpangan akses pendidikan juga berpotensi memperburuk kesenjangan sosial-ekonomi antar wilayah. Daerah-daerah dengan akses pendidikan yang lebih baik cenderung memiliki sumber daya manusia yang lebih berkualitas, sehingga dapat menarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Sementara di daerah tertinggal, rendahnya kualitas sumber daya manusia akibat minimnya akses pendidikan akan sulit untuk menarik minat investor dan mendorong pembangunan ekonomi. Pada akhirnya, kondisi ini dapat memperlebar perbedaan kesenjangan sosial-ekonomi antara daerah maju dan tertinggal.

Dampak lain yang juga perlu diperhatikan adalah potensi terjadinya konflik sosial akibat ketidakadilan dalam memperoleh akses pendidikan. Anak-anak di daerah tertinggal yang merasa terpinggirkan dan tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan anak-anak di daerah maju dapat menimbulkan rasa kecemburuan dan ketidakpuasan sosial. Hal ini dapat menyebabkan konflik yang menghambat upaya pemerintah untuk menciptakan pertumbuhan yang adil dan merata di seluruh Indonesia.

Upaya dan Harapan ke Depan

Salah satu upaya penting yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketimpangan akses pendidikan adalah dengan meningkatkan investasi dan alokasi anggaran pendidikan di daerah-daerah tertinggal. Pemerintah perlu memprioritaskan pembangunan infrastruktur pendidikan, seperti pendirian sekolah, penyediaan fasilitas belajar yang memadai, serta peningkatan jumlah dan kualifikasi guru di wilayah-wilayah yang masih kekurangan. Dengan demikian, anak-anak di daerah tertinggal dapat memperoleh akses yang lebih baik terhadap layanan pendidikan yang berkualitas.

Selain itu, upaya lain yang juga penting adalah mendorong program-program beasiswa dan bantuan biaya pendidikan bagi masyarakat kurang mampu di daerah tertinggal. Hal ini dapat membantu mengatasi kendala ekonomi yang seringkali menjadi penghalang bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah untuk dapat bersekolah. Pemerintah dapat bekerja sama dengan organisasi nirlaba dan pihak swasta untuk memperluas cakupan dan jangkauan program tersebut ke daerah terpencil.

Di sisi lain, peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan juga harus menjadi fokus perhatian. Upaya sosialisasi pentingnya pendidikan perlu dilakukan secara intensif, terutama di daerah-daerah dengan budaya dan persepsi masyarakat yang masih kurang mendukung. Dengan meningkatnya pemahaman masyarakat, diharapkan hambatan sosial-budaya terhadap akses pendidikan, seperti diskriminasi gender, dapat dihilangkan secara bertahap.

Kita berharap akses pendidikan di Indonesia akan lebih merata di masa depan dan tidak lagi dibatasi oleh faktor sosial, ekonomi, dan geografis. Dengan adanya upaya sungguh-sungguh dari pemerintah untuk meningkatkan investasi dan alokasi anggaran pendidikan di daerah-daerah tertinggal, anak-anak di seluruh pelosok negeri dapat memperoleh kesempatan yang sama untuk mengakses layanan pendidikan yang berkualitas. Program-program beasiswa dan bantuan biaya pendidikan juga diharapkan dapat menjangkau lebih banyak masyarakat kurang mampu, sehingga tidak ada lagi anak-anak yang harus putus sekolah karena kendala ekonomi. Selain itu, peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat, serta sinergi yang baik antara berbagai pemangku kepentingan, akan membantu mengikis hambatan-hambatan sosial-budaya terhadap akses pendidikan. Dengan demikian, kita berharap bahwa di masa depan, setiap anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal melalui pendidikan yang adil dan merata. ***

* Penulis adalah Jabatan Statistisi Ahli Pertama Badan Pusat Statistik Kota Dumai